Pembelajaran Etika Berpolitik
Pengantar
Ada yang berubah dalam dunia politik kita sekarang. Kini, semakin banyak saja pengusaha dan selebriti yang mencalonkan diri jadi kepala daerah dan atau anggota legislatif (DPR/DPRD) lewat pilkada langsung. Pada saat yang bersamaan, politisi juga mencoba masuk dalam dunia usaha atau menjadi politisi untuk mengembangkan usahanya. Bahkan juga banyak politisi yang menjadi selebriti. Keduanya berpenampilan seperti ”enterpreuner” profesional atau selebritis terkenal. Itu semuanya sah-sah saja asal mereka mempunyai wawasan ilmu politik dan etika berpolitik dalam menjalankan kebijakan politik.
Untuk menuju kancah politik, mereka wajib memiliki ”kekayaan” bacaan etika dan ilmu politik agar bisa menjalankan fungsinya secara santun. Namun, apa yang terjadi ?. Ternyata setiap mendekati Pemilu mau pun Pilkada, sering ditemukan berbagai pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh seorang calon atau organisasi yang mendukungnya mau pun oleh masyarakat tanpa mengindahkan etika berpolitik yang santun. Begitu juga setelah menjadi politisi, sering ditemukan perilaku yang menyimpang terhadap etika politik.
. Menyikapi fenomena tersebut, PDP Kota Madiun berkewajiban mengajak masyarakat untuk memperbaiki etika politik karena banyak kasus-kasus politik yang melanda bangsa ini. Dengan demikian, PDP kota Madiun sebagai partai politik punya fungsi komunikasi baik ketika suhu politik memanas mau pun tidak. Dengan begitu, persoalan urgensi adalah bagaimana program-program PDP dikomunikasikan kepada rakyat, dan bagaimana pada saat yang sama, para pengurus dan anggota partai secara intens membangun dialog serta menggali dan menyelami aspirasi yang tumbuh dari bawah.
PDP sebagai partai baru, pada kesempatan sekarang harus berani dan menjadi pelopor gerakan etika berpolitik, baik bagi pengurus dan para anggotanya mau pun bagi rakyat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sebagai caleg nomor urut 1 dari PDP kota Madiun untuk Provinsi Jawa Timur mencoba untuk membangun etika politik melalui tulisan. Mudah-mudahan tulisan yang penulis susun merupakan wujud ”kontrak politik” secara moral yang akan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rendahnya Etika Berpolitik.
Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik, yaitu watak merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah watak ular ketimbang watak merpatinya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan watak binatang.
Saking parah tidak adanya etika politik, di kota Madiun menjelang pemilihan calon walikota dan wakil walikota ternyata kecenderungan watak binatang tidak hanya hinggap pada para politisi saja. Watak binatang juga menghinggapi pada individu calon dan masyarakat. Buktinya, ada tengara “money politics” yang dilakukan oleh individu tertentu untuk menggolkan calon walikota dan wakil walikota tertentu. Bahkan tidak hanya kejadian “money politics” saja. Ada calon yang memiliki track record tidak baik dalam kehidupan bermasyarakat tetapi nekat dalam pertarungan pilkada. Atau ada calon yang menjanjikan ini itu yang sebenarnya janji itu tidak pantas diutarakan sebagai komoditas kampanye.
Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.
Begitu juga sebagian masyarakat kota Madiun ada yang hanyut menerima uang dan ada yang ketakutan, sehingga mencoblos calon tertentu. Kampanye arak-arakan dengan meneriakan yel-yel negatif sambil membawa minuman keras adalah bentuk kampanye hitam (black campaign) yang sangat memalukan sebagai bangsa yang mengaku beradab. Itu semua adalah gambaran betapa rendahnya etika berpolitik mereka.
Eforia demokrasi di era reformasi ini tidaklah lantas merubah politikus-politikus atau calon-calon penguasa kita sebagai setan-setan politik dan dunia politik atau dunia kekuasaan sebagai sarangnya penjahat. Dalam karya masterpiece Aristoteles ‘The Nichomachean Ethic’ (1998) menguraikan secara komprehensif bagaimana manusia harus menjalankan kewajiban prinsip-prinsip dan ajaran etika politik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Politik sendiri secara etis merupakan suatu ilmu dan seni untuk mencapai kekuasaan demi kepentingan seluruh umat manusia. Bukan atas nama kepentingan individu, kelompok maupun partai politik (parpol).
Elite serta massa di kota Madiun yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kurangnya etika berpolitik di kota Madiun dan kota-kota lainnya merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika dan moral serta politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan.
Karena itu, penulis sebagai pengurus PDP kota Madiun yang mencalonkan diri sebagai caleg di tingkat Provinsi Jawa Timur akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pembelajaran etika politik khususnya bagi rakyat di kota Madiun.
Pembelajaran Etika Politik.
Setelah melihat konstruksi (catatan : bukan deskripsi) eforia demokrasi yang terjadi di kota Madiun dan kota-kota lain pada umumnya serta perilaku elite politik, penulis perlu mencoba menjelasan pembelajaran etika politik. Karena itu, etika politik perlu dijelaskan dalam roda demokrasi menjelang Pemilu 2009, dengan maksud sebagai upaya PDP kota Madiun untuk mengajak bangsa Indonesia dalam mewujudkan tata pemerintahan yang adil, demokratis dan beradab. Dengan begitu elite politik dan rakyat harus belajar dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika politik serta prinsip-prinsipnya. Namun, sebelum diuraikan pembelajaran etika politik, perlu dijelaskan pengertian etika dan politik.
Menurut Franz Magnis Suseno dalam bukunya ’Etika Jawa’ (1985), dikatakan bahwa ”etika” berarti filsafat mengenai bidang moral.” Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Namun, dalam kesempatan ini penulis mengartikan etika dalam arti luas, yaitu keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya tanpa merugikan orang lain.
Sementara, menurut William Liddle dalam bukunya ’Partisipasi dan Partai Politik’ (1999) dikatakan bahwa politik adalah macam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan dalam kebijakan. Pendapat lain mengatakan, politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Untuk itu, politik sebagian besar menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk di dalamnya partai-partai politik dan organisasi-organisasi politik lainnya, walau pun tidak menutup kemungkinan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat perorangan (individu).
Dengan demikian, etika politik pada dasarnya mengajarkan pada sikap-sikap politik yang lebih etis, dengan selalu mengedepankan nilai-nilai moralitas, kejujuran, keadilan dan kesejahteraan. Sikap etis dengan sangat tegas bertentangan dengan adanya memanipulasi, money politics, mengibuli, menjelek-jelekkan dan menyalahgunakan kekuasaan. Hal itu merupakan salah satu pelanggaran dalam esensi etika politik. Dengan kata lain, etika politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
Setelah memahami makna etika politik, pertanyaannya secara filosofis yang perlu diajukan mengapa makna politik mengalami pergeseran paradigma yang melenceng begitu jauh dari maksud serta tujuan politik, sehingga kita bisa melihat bagaimana kondisi perpolitikan di Indonesia menjelang Pemilu 2009 dan setiap ada Pilkada, semakin carut-marut dan tidak mampu membawa suatu perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia ?. Hal itu disebabkan para elite politik tidak mampu dan mengerti secara esensial apa itu tujuan politik secara komprehensif ?
Pemahaman yang tidak utuh tentang etika politik dan tujuan politik serta dibentuknya partai politik akan menyebabkan kehancuran peradaban bangsa Indonesia. Di Indonesia partai-partai politik dibentuk adalah sebagai upaya untuk mencari wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD sehingga aspirasi seluruh rakyat Indonesia bisa tersampaikan, bukan aspirasi kelompok partai-partai politik saja. Itu yang perlu diperhatikan oleh elite politik dan penguasa.
Sebab, fenomena yang mementingkan partai politiknya sendiri tampak jelas dalam sikap dan perilaku elite politik dalam menentukan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, sehingga pada akhirnya, telikungan antar partai politik untuk menjatuhkan akan saling terjadi. Pada akhirnya, persoalan-persoalan kebangsaan semakin tidak dapat diselesaikan. Karena, elite politik hanya sibuk mengurus dan mementingkan parpolnya atau kepentingan ambisi pribadinya. Karena itu, etika politik perlu dijalankan dalam roda demokrasi menjelang Pemilu 2009, sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang adil, demokratis dan beradab. Dengan begitu, elite politik harus belajar dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika politik serta prinsip-prinsipnya, sehingga rakyat akan bersimpati dan mendukungnya.
Prinsip-prinsip etika politik itu perlu diimplementasikan oleh elite politik dan para politisi sekarang ini sebagai wujud dari pengejawantahan dalam prinsip kesejahteraan umum — yang mempunyai relevansi politik tinggi — yang mempunyai tujuan bahwa semua tindakan dan kebijakan para politisi, elite politik dan pejabat birokrasi mulai dari tingkat pusat sampai daerah, harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-sebanyaknya, asal tidak melanggar hak dan keadilan. Maka dari itu, etika politik telah memberikan landasan yang positif sebagai rambu-rambu untuk tidak melakukan perbuatan buruk. Ketika kita melakukan yang baik, jelas itu akan berimplikasi yang baik pula pada diri sendiri. Memiliki pengendalian diri untuk tidak korupsi, dengan mengendalikan diri merupakan nilai-nilai dari etika politik. Menjadi pemberani dengan melakukan tindakan-tindakan yang berani dalam pemberantasan korupsi adalah suatu kebaikan yang sangat terpuji.
Keutamaan-keutamaan moral dalam politik perlu dijunjung tinggi dalam perpolitikan di Indonesia dengan selalu mengedepankan keutamaan moral seperti kejujuran, keadilan, kesejahteraan dan pengabdian terhadap rakyat. Hal ini sesungguhnya akan membangun perilaku para politisi dan elite politik untuk mengendalikan terjadinya perilaku korupsi yang saat ini marak dilakukan oleh wakil rakyat.
Kebaikan dalam berpolitik harus diwujudkan oleh setiap partai politik dan bahkan dalam menentukan setiap kebijakan pemerintah. Sementara itu, koalisi antar-parpol harus juga dijadikan langkah awal untuk merajut nilai-nilai etika dalam berpolitik. Tujuannya satu, bahwa koalisi baik di tingkat pusat dan daerah untuk mencapai kekuasaan secara bersama harus dilandasi untuk membangun dan memperbaiki kondisi kebangsaan yang saat ini sedang dilanda berbagai musibah dan krisis keuangan global. Karena itu, kesejahteraan rakyat Indonesia harus menjadi prioritas paling utama.
Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini.
Dengan demikian, dalam konteks perpolitikan di Indonesia menjelang Pemilu 2009, persoalan yang baik harus dikedepankan, baik dalam arti mampu membawa politik ke dalam sistem demokrasi yang lebih adil dan bermartabat, sehingga tujuan politik adalah yang baik bagi manusia, baik bagi seluruh bangsa Indonesia. Perpolitikan di Indonesia akan lebih maju, manakala elite politik mampu menjalankan peran dan fungsi sebagai abdi negara dalam melakukan kebijakan-kebijakan secara adil demi kepentingan rakyat Indonesia. Karena, pada dasarnya, prinsip keadilan adalah bagian etika politik, yang mengatakan bahwa kita wajib memperlakukan semua orang dengan adil. Artinya, menghormati hak-hak rakyat Indonesia dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama.
Prinsip keadilan adalah sikap para elite politik untuk bisa menghormati siapa pun bahkan terhadap dirinya sendiri. Karena itu, prinsip keadilan juga berarti telah menuntut tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri demi tujuan tertentu, bahkan demi tujuan yang baik dan ia jangan pernah membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh orang lain sebagai alat saja, dengan diperas, diperkosa atau diperbudak oleh siapa pun untuk bisa memperoleh kekuasaan dengan jalan yang kotor.
Jadi, untuk berpolitik dengan etika dan moral, paling tidak dibutuhkan dua syarat, yaitu adanya kedewasaan untuk berdialog dan dapat menomorduakan kepentingan pribadi dan kelompok agar kepentingan bangsa dan negara lebih diutamakan.
Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi ke depan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.
Penulis,
Indra Budi TP